Kak Fauzi Eko Pranyono
Ketua Dewan Racana WR Supratman Gugusdepan 007, pangkalan IKIP Yogyakarta (1986-1987)
Anggota Dewan Kerja Daerah Kwartir Daerah XII DIY (1987 -1991)
Andalan Daerah Penelitian dan Pengembangan Kwartir Daerah XII DIY (2006 - 2010)
Anggota Dewan Kerja Daerah Kwartir Daerah XII DIY (1987 -1991)
Andalan Daerah Penelitian dan Pengembangan Kwartir Daerah XII DIY (2006 - 2010)
Kursus Pembina Mahir Lanjutan Golongan Penegak, Kwartir Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (1993)
Kursus Pelatih Tingkat Dasar Kwartir Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (1997)
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Pamong Belajar Indonesia (2009 -2012)
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Himpunan
Penggiat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan Nonformal (2012 - 2016)
Tulisan ini merupakan salah satu dari trilogi artikel saya tentang kegelisahan kondisi Gerakan Pramuka hampir duapuluh tahun yang lalu. Tulisan ini saya tulis sembilan belas tahun yang lalu, dan pernah dimuat di Harian Yogya Post (sudah almarhum) pada 23 Agustus 1991. Mudah-mudahan revitalisasi Gerakan Pramuka yang saat ini menggelora dapat menggairahkan kembali pendidikan kepramukaan sehingga kembali memiliki peran yang bermakna dalam mengembangkan karakter anak bangsa. Amin.
Gerakan Pramuka dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden RI nomor 238 tahun 1961, yang merupakan peleburan
dari puluhan organisasi kepanduan. Gerakan Pramuka mengemban misi utama
sebagai wadah pembinaan watak dan kepribadian generasi muda, yang dalam
pelaksanaannya menggunakan prinsip-prinsip kepanduan yang dikemukakan
oleh pendirinya Lord Baden Powell. Di Indonesia prinsip-prinsip
kepanduan itu dikenal sebagai prinsip dasar metodik pendidikan
kepramukaan. Karena ciri-ciri prinsip dasar metodik pendidikan
kepramukaan yang melekat maka Gerakan Pramuka berfungsi sebagai lembaga
pendidikan, utamanya lembaga pendidikan bagi anak, remaja dan pemuda
Indonesia yang berusia 7 tahun sampai dengan 25 tahun digolongkan ke
dalam golongan Siaga, Penggalang, Penegak dan Pandega.
Ide Dasar Pendidikan Kepramukaan
Proses
pendidikan di dalam Gerakan Pramuka berlangsung pada satuan yang
disebut wadah pembinaan, adapun wadah pembinaan yang pertama dan utama
adalah Gugusdepan. Dapat dikatakan bahwa Gugusdepan merupakan satuan
terdepan dalam usaha pendidikan dalam Gerakan Pramuka. Bahkan lebih
ekstrim lagi disebutkan bahwa tanpa berlangsungnya proses pendidikan di
dalam Gugusdepan maka usaha-usaha pendidikan Gerakan Pramuka tidak ada
artinya. Karena memang di dalam wadah atau lembaga Gugusdepan itu
sebagian besar proses pendidikan di dalam Gerakan Pramuka berlangsung.
Di dalam wadah itulah berlangsung proses pendidikan, atau lebih luas
lagi proses sosialisasi dimana peserta didik mempelajari kebiasaan,
sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah laku, dan standard tingkah
laku dalam masyarakat dimana ia hidup.
Proses pendidikan
kepramukaan di Gugusdepan adalah proses pendidikan dan pembinaan yang
dilakukan oleh seorang pendidik, yang meliputi pembinaan di bidang
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan dengan titik berat pembinaan pada
aspek pengetahuan dan sikap. Sedang proses pendidikannya dilakukan
melalui proses pencapaian syarat-syarat kecakapan umum dan syarat-syarat
kecakapan khusus serta penghayatan kode kehormatan. Penitikberatan pada
aspek pengetahuan dan sikap ini sesuai dengan misi utama Gerakan
Pramuka dalam upaya pembinaan watak dan kepribadian, dan konsisten
dengan ide dasar Baden Powell bahwa esensi pendidikan kepanduan adalah
pembinaan kecerdasan, watak, dan karakter. Bila dalam kegiatan
kepramukaan dilakukan kegiatan ketrampilan dan ketangkasan bukanlah
semata-mata menyiapkan peserta didik agar memiliki kompetensi terhadap
suatu ketrampilan, namun kegiatan ketrampilan tersebut adalah sebagai
alat pendidikan dalam usaha membantu perkembangan jiwa dan sikap peserta
didik. Namun demikian Gerakan Pramuka tetap memberikan perhatian bagi
pembinaan ketrampilan, dan usaha intensif ke arah usaha tersebut
dilakukan melalui wadah pembinaan yang disebut dengan Satuan Karya.
Ide
dasar pendidikan kepramukaan adalah permainan gembira di alam terbuka,
dimana anak-anak dan pemuda menerima pengalaman-pengalaman menarik,
membina kesehatan, kebahagiaan, ketangkasan tangan dan sifat suka
menolong, dibawah bimbingan orang dewasa dengan hubungan sebagai kakak
dan adik. Lebih lanjut Baden Powell mengatakan bahwa tujuan latihan
kepanduan (kepramukaan) ialah memperbaiki mutu warga negara pada
generasi yang akan datang, terutama karakter dan kesehatannya, mengganti
”aku” dengan ”bakti” membuat anak seorang yang efisien mengabdi pada
sesama manusia. Dalam negara yang merdeka orang mudah mengatakan dirinya
seorang warga negara yang baik bila ia selalu taat pada undang-undang,
mengerjakan pekerjaannya, dan menyatakan pilihan politiknya, olah raga
dan kegiatan-kegiatan lain dan menyerahkan kepada negara untuk
memikirkan masalah kesejahteraan negara. Menurut Baden Powell keadaan
demikian itu adalah warga negara yang pasif, tetapi warga negara yang
pasif ini tidak cukup untuk mempertahankan isi kemerdekaan, keadilan dan
kehormatan di dunia. Karena itu dibutuhkan juga warga negara yang
aktif.
Kedudukan pendidikan kepramukaan sebagai daya
dukung sistem pendidikan, terutama untuk melengkapi upaya jalur
pendidikan sekolah, dapat ditilik dari ide dasar Baden Powell tentang
pendidikan kepanduan. Menurut Baden Powell pendidikan kepanduan
(kepramukaan) menitikberatkan pada pengembangan watak dan jiwa anak dan
pemuda. Walapun konsep pendidikan formal dijiwai oleh tiga ranah
pendidikan, yaitu kognisi, afeksi, dan ketrampilan, namun tidak bisa
kita sangkal kelemahan perangkat pendidikan formal untuk mengembangkan
ranah afeksi secara optimal. Pada sisi inilah kehadiran pendidikan
kepramukaan diperlukan dalam sistem pendidikan nasional.
Melunturnya Jati Diri
Permasalahan
utama yang dihadapi oleh pendidikan kepramukaan saat ini adalah
kekhawatiran semakin melunturnya jati diri Gerakan Pramuka. Semakin
melunturnya jati diri Gerakan Pramuka disebabkan oleh tererosinya
pelaksanaan prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan. Hal ini
berakibat bahwa proses pendidikan kepramukaan semakin kehilangan warna
aslinya, sehingga kualitas proses dan hasil pendidikannya kurang
memuaskan. Salah satu penyebab melunturnya jati diri Gerakan
Pramuka/pendidikan kepramukaan adalah terlalu melekatnya pendidikan
kepramukaan (yang notabene adalah bentuk pendidikan non formal) pada
lembaga pendidikan formal. Akibatnya terjadi intervensi pengelola
lembaga pendidikan formal (sekolah) yang kurang memahami karakter proses
pendidikan kepramukaan ke dalam Gerakan Pramuka. Bagi pengelola jajaran
Gerakan Pramuka (Kwartir) campur tangan pengelola lembaga pendidikan
formal tersebut memang tidak selamanya negatif, namun yang paling
merasakan adalah para peserta didiknya. Seringkali peran Pembina Pramuka
dirangkap oleh guru pada sekolah yang bersangkutan, hal ini sebenarnya
agak merepotkan peserta didik dalam berinteraksi dengan Pembinanya (yang
juga gurunya) yang di dalam proses pendidikan kepramukaan berhubungan
sebagai kakak dan adik. Disamping itu bagi Pembina akan muncul berbagai
kendala dalam menerapkan prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan
karena perannya sebagai guru pada pangkalan Gugusdepan yang
bersangkutan.
Keadaan yang paling mengkhawatirkan adalah
kesalahan penerapan metodik pendidikan kepramukaan oleh para Pembina.
Tidak jarang kita jumpai para Pembina menerapkan metode latihan dan
pembelajaran yang berlaku di dalam pendidikan formal pada proses
pendidikan kepramukaan. Misalnya dengan penggunaan metode klasikal/
massal dan terlampau dominasinya penggunaan metode ceramah dalam latihan
kepramukaan. Keadaan tersebut menyebabkan bosannya peserta didik
terhadap latihan kepramukaan. Padahal Boden Powell mengemukakan bahwa
pendidikan kepramukaan adalah permainan gembira di alam terbuka. Namun
hal tersebut jangan diartikan sempit dengan cukup menerapkan sebuah
latihan di lapangan terbuka serta mengajak adik-adik tepuk-tepuk dan
bernyanyi. Melainkan menerapkan metode latihan sesuai prinsip-prinsip
dasar metodik pendidikan kepramukaan dalam rangka memberikan
materi-materi guna mencapai tujuan Gerakan Pramuka.
Hal
yang dipandang esensi dalam pelaksanaan metodik pendidikan kepramukaan
adalah penerapan sistem tanda kecakapan dan sistem beregu. Melalui
sistem tanda kecakapan potensi yang berbeda pada setiap peserta didik
dikembangkan secara optimal. Sistem tanda kecakapan mendidik Pramuka
untuk memiliki motivasi mencapai yang terbaik, serta keinginan untuk
maju dan mengembangkan diri. Apabila seorang Pramuka telah mencapai
suatu syarat kecakapan tertentu akan diberi penghargaan, yaitu berupa
tanda kecakapan yang dikenakan pada baju seragam Pramuka. Sedangkan
melalui sistem beregu Pramuka dididik untuk bergaul dan bermasyarakat
pada kelompok kecilnya dan satuan-satuannya. Penerapan sistem beregu
diharapkan mampu menggeser metode klasikal yang dipandang kurang
menguntungkan bagi proses pendidikan kepramukaan.
Namun
kenyataannya sekarang kita sangat jarang menjumpai para Pramuka yang
mengenakan berbagai tanda kecakapan di baju seragamnya. Sementara itu
dalam penerapan sistem beregu Pembina sekedar membagi Pramuka dalam
regu-regu atau kelompok-kelompok kecil lainnya secara fisik, tetapi
tidak diikuti implementasinya. Jadi hakekat sistem beregu tidak terletak
semata pada pembagian Pramuka ke dalam kelompok-kelompok kecil, tetapi
pada penerapannya menjadikan regu/kelompok sebagai kesatuan kerja dan
bermain baik dalam disiplin maupun dalam menjalankan kewajiban. Dengan
demikian menuntut pula kemauan dan kepercayaan Pembina untuk memberikan
kekuasaan dan tanggung jawab ke pada pemimpin regu.
Maka
apabila kita hendak meningkatkan jati diri Gerakan Pramuka maka
hendaklah berpandangan usaha pendidikan kepramukaan tidak hanya
bersandar pada isi/materi yang diberikan namun yang paling penting
adalah metodenya (prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan). Karena
perbedaan pendidikan kepramukaan dengan bentuk pendidikan lainnya
terletak pada metode dan pendekatan yang digunakan dalam mengisi jiwa
anak. Sebagai sebuah metode dan pendekatan pendidikan, prinsip dasar
metodik pendidikan kepramukaan memberikan arahan, rambu-rambu bagi para
Pembina dalam mendidik peserta didiknya dan memberikan inspirasi bagi
bentuk seluruh program kegiatan kepramukaan. Adapun prinsip dasar
metodik pendidikan kepramukaan secara lengkap adalah prinsip
kesukarelaan, prinsip kode kehormatan dalam bentuk janji dan ketentuan
moral, sistem beregu, sistem satuan terpisah untuk anggota putera dan
anggota puteri, sistem tanda kecakapan, kegiatan menarik yang mengandung
pendidikan, penyesuaian dengan perkembangan rohani dan jasmani,
keprasahajaan hidup dan swadaya.
Mutu Pembina Pramuka Rendah
Masalah
lain yang dihadapi Gerakan Pramuka saat ini adalah rendahnya kualitas
dan kuantitas Pembina Pramuka. Sudah amat jarang terjadi munculnya
Pembina baru dari para peserta didik yang memiliki pengalaman ketika
menjadi Siaga, Penggalang, Penegak dan Pandega. Banyak Pembina yang
muncul karena jabatannya sebagai guru, misalnya guru olah raga, guru
bimbingan, yang notabene kurang memiliki pengalaman yang cukup sebagai
anggota Gerakan Pramuka sebelumnya. Kurangnya pengalaman mereka sebagai
peserta didik sudah barang tentu berakibat pada lemahnya pemahaman
mereka terhadap ide dasar pendidikan kepramukaan.
Di
Kwartir Daerah XII Daerah Istimewa Yogyakarta kekurangan jumlah Pembina
dapat diketahui dari ratio Pembina berbanding peserta didik sebagai 1 :
40 orang. Angka tersebut masih jauh dari ketentuan ratio ideal sebesar 1
Pembina untuk 10 orang peserta didik. Keadaan tersebut masih ditambah
dengan adanya kenyataan seorang Pembina merangkap membina pada beberapa
sekolah atau Gugusdepan. Hal tersebut sudah barang tentu akan menghambat
usaha peningkatan kualitas proses pendidikan kepramukaan di Gugusdepan,
karena kurang intensifnya Pembina melakukan pembinaan pada peserta
didiknya.
Memang, dalam rangka meningkatkan kuantitas dan
kualitas Pembina Pramuka diadakan Kursus Mahir Pembina, baik tingkat
Dasar maupun Lanjutan. Tetapi manakala peserta Kursus Mahir Pembina
adalah Pembina karbitan, menjadi Pembina karena jabatan, bagi
pelaksanaan proses pendidikan kepramukaan kurang memadai. Diharapkan
Pembina Pramuka muncul dari para calon-calon Pembina yang benar-benar
memiliki pengalaman sebagai peserta didik atau memahami ide dasar
pendidikan kepramukaan. Tidak sekedar memandang pendidikan kepramukaan
sebagai pelengkap kegiatan ekstra kurikuler di sekolah, melainkan
mendudukkan pendidikan kepramukaan dalam sistem pendidikan nasional,
yaitu sebagai penunjang sub sistem pendidikan persekolahan (formal).
Oleh
karena itu dalam rangka meningkatkan kualitas proses pendidikan
kepramukaan sesuai dengan yang dirujuk pada prinsip dasar metodik
pendidikan kepramukaan, maka kemampuan dan ketrampilan para Pembina
harus mendapat perhatian. Tampaknya diperlukan Pembina Pramuka yang
benar-benar memahami dan menguasai pendidikan kepramukaan. Untuk itu
harus dihindari munculnya Pembina Pramuka karbitan apabila Gerakan
Pramuka masih ingin memberikan makna dalam sistem pendidikan nasional di
masa mendatang.
Kembalikan ke Tengah Masyarakat
Sebenarnya
pada awalnya pendidikan kepramukaan berada di tengah-tengah masyarakat,
tidak melekat pada lembaga pendidikan formal. Artinya, Gugusdepan
Gerakan Pramuka sebagai lembaga pendidikan luar sekolah seharusnya
berpangkalan di masyarakat. Guna mengendalikan dan menangkal menyusupnya
paham komunis ke dalam jajaran Gerakan Pramuka pada awal pertumbuhan
Gerakan Pramuka, maka pada perkembangan berikutnya dan sampai sekarang
Gugusdepan Gerakan Pramuka dititipkan pada sekolah. Serta alasan
lainnya, yaitu guna memudahkan menghimpun peserta didik dan pengadaan
tenaga Pembina dari para guru.
Melihat perkembangan saat
ini, sudah waktunya kita mengembalikan kedudukan Gugusdepan Gerakan
Pramuka di tengah-tengah masyarakat. Anak, remaja, dan pemuda yang
berhak mengikuti pendidikan kepramukaan tidak hanya mereka yang duduk di
bangku sekolah saja, tetapi juga mereka yang tidak atau belum sempat
mengikuti pendidikan sekolah serta pemuda putus sekolah. Namun demikian
alasan utamanya adalah mengembalikan esensi pendidikan kepramukaan
sebagai bentuk pendidikan luar sekolah serta mengurangi terjadinya erosi
berlebihan terhadap metodik pendidikan kepramukaan. Sedikit banyak
lepasnya Gugusdepan Gerakan Pramuka dari sekolah/ pendidikan formal akan
membantu terciptanya kondisi yang memungkinkan untuk mengembangkan dan
menerapkan prinsip dasar pendidikan kepramukaan, karena Gugusdepan tidak
lagi terikat dengan birokrasi persekolahan. Dengan demikian jati diri
pendidikan kepramukaan yang terpancar melalui penerapan metodiknya akan
meningkat dan mengembang. Namun kiranya hal tersebut memerlukan kemauan
pada setiap jajaran Gerakan Pramuka serta kemandirian organisasi Gerakan
Pramuka.
Yogyakarta, Agustus 1991
0 komentar:
Posting Komentar