Selamat Datang di CATATAN REDAKTUR ENSIKLOPEDIA PRAMUKA
go to my homepage
Go to homepage

Pages

Labels

Selasa, 03 Juni 2014

Kegiatan Kepramukaan sebagai Ekskul Wajib di Sekolah (4) : Belajar Nasionalisme dari Toko Buah Modern



Catatan ensiklopediapramuka.com :
urun rembug pengelolaan pramuka wajib di sekolah (4)

BELAJAR NASIONALISME DARI TOKO BUAH MODERN
(Kisah kreativitas Pembina Pramuka bekerjasama dengan Guru Sekolah)


Oleh : Anis Ilahi Wh
 (Ketua DKD Kwarda XII DIY tahun 1987 - 1991)



Pribadi Yang Kreatif

Kak Ron sahabat saya, Pembina Pramuka di Gudep Sekolah di pinggiran Kota Metropolitan, yang saya kenal melalui media online. Kak Ron adalah kritikus dan pembaca setia ensiklopediapramuka online. Yang mengagumkan, seringkali ia menyatakan telah ikhlas mewakafkan diri untuk “Pramuka & Indonesia”. Meski honor membina jauh dari cukup (dibawah UMR), tetap ia syukuri. Kehidupan sehari-hari ditopang oleh sang istri, seorang PNS. 2 Putranya 1 usia SMP dan 1 SMA, termasuk anak yang cerdas, santun dan bintang pelajar di sekolahnya. Kebahagiaan keluarga yang sederhana ini, saya kira karena ditopang oleh kejujuran, keikhlasan dan kemauan berbagi.

Kak Ron sosok nasionalis sejati. Ia terus berupaya menyemai, merawat dan mengembangkan jiwa nasionalisme para Penggalang binaannya. Jiwanya sensitif terhadap berbagai persoalan bangsa yang dapat mengancam nasionalisme. Kecintaanya pada Indonesia, membawa Kak Ron selalu ingin memastikan agar para Penggalangnya juga mencintai Indonesia sebagaimana dirinya mencintai Indonesia. Kreativitasnya selalu terpacu hebat, jika menyangkut upaya penananam nilai-nilai keindonesiaan – segala langkah ia tempuh.

Dalam sebuah pertemuan di warung bakso Wonogiri, Kak Ron bercerita dengan sangat mengesankan bagaimana cara dia menanamkan kesadaran berbangsa dan bernegara kepada para Penggalang melalui “toko buah modern”.

Pribadi Yang Terusik

Sebuah toko buah yang modern dan megah, berdiri tidak jauh dari sekolah tempat Gudep Kak Ron berada. Sekali ia masuk, ia kitari, ia hitung dan ia cermati ternyata sebagian besar buah yang dijual merupakan buah impor. Ia amati pula para pembeli yang sebagian besar kelas menengah kota dengan sigap, mata bersinar, tangan yang terampil, raut bahagia dan tentu saja dompet yang tebal, berbelanja di toko itu. “Sementara itu buah lokal teronggok sepi di pojok bangunan toko yang megah, ber ac dan bau wangi itu”, kata Kak Ron dengan getir.

Sebagai nasionalis sejati, Kak Ron terusik. Apa yang ditemukannya di toko buah itu adalah sebuah ironi. Menurut Kak Ron, Indonesia adalah surga buah-buahan, “ribuan tanaman buah dapat tumbuh subur di tanah nusantara ini, kenapa justru buah impor yang merajai pasar. Saya tidak anti impor, kak” – kata Kak Ron setengah mengeluh. “ Yang lebih saya takutkan - kenapa ibu-ibu itu tampak lebih bangga berbelanja buah luar negeri dari pada buah kita sendiri, ya Kak …”

Ditengah beradunya sendok dan mangkuk bakso Wonogiri, saya membatin “Kak Ron, sungguh itu persoalan yang rumit. Bermakna bagi yang mau berfikir. Tapi tidak berarti apa-apa bagi yang tidak mau berfikir, apalagi dalam bingkai nasionalisme”.

Pribadi Yang Kolaboratif

Dari kerisauannya itu, Kak Ron merancang agenda latihan kepramukaan yang ia berita tema “belajar nasionalisme dari toko buah modern”. Menyadari keterbatasannya, Ia bekerjasama dengan para guru. Dari guru biologi ia memperoleh informasi buah apa saja yang bisa tumbuh di tanah air, dari guru ekonomi ia memperoleh informais tentang rantai perdagangan dan ekspor impor, dari guru PKN ia memperoleh informasi bentuk-bentuk nasionalisme di era global. Kak Ron juga browsing di internet untuk memperkaya bahan-bahannya.

Tema latihan itu, Ia kemas dalam permainan besar dengan membagi tugas kepada tiap regu. Regu Elang ia tugasi mendatangi toko buah untuk mencatat dan membandingkan jenis buah laur negeri dan buah lokal yang dijual. Regu Garuda ia tugasi mewawancarai para pembeli (mengapa, kenapa, berapa, dst) dan juga minta omzet penjualan toko. Regu Gajah, ia tugasi untuk mendatangi kantor dinas perdagangan untuk mencari data perdagangan buah dan juga mendatangi “narasumber ahli” untuk meminta pendapat. Regu Singa ia tugasi untuk mendatangi para penjual buah lokal di pasar-pasar mencari data dari mana berasal, dimana saja dijual, bagaimana harga ditentukan, dsb..

Pribadi yang Nasionalis

Satu minggu setiap regu diminta menyelesaikan tugas dan membuat laporan. Tiba saat presentasi dan diskusi, Kak Ron mengundang para Guru untuk menjadi Narasumber. Diskusi berjalan ramai, pandangan para Penggalang begitu polos terhadap sejumlah fakta dan data yang ditemukan. Kak Ron dan Para Guru memperkaya pembahasan. “Yang membanggakan para Penggalang menyadari bahwa banyaknya buah luar negeri di banding buah dalam negeri adalah bentuk kekalahan bangsa dalam menghadapi era globalilasi”, Kak Ron menjelaskan hasil diskusi itu pada saya.

Sambil menghela nafas Kak Ron juga berujar “dari hasil temua anak-anak saya melihat, membanjirnya buah impor ternyata bukan persoalan sederhana, ada faktor kebijakan, ada faktor peminggiran petani buah, ada faktor ekonomi, (ada faktor pencari rente - rantai perdagangan yang tidak adil, distortif dan monopoli – tambahan dari penulis), ada faktor gaya hidup, dsb. Kalau tidak diatasi akan mengancam nasionalisme dalam arti luas, Kak. Ketika petani merasa terpinggirkan, pasar dikuasasi produk-produk asing, kecintaan pada produk dalam negeri melemah, itu dapat menjadi bibit memudarnya ikatan keindonesiaan kita ….”

Diakhir diskusi, Kak Ron mengajak para Penggalang menuju aula sekolah. Ia pampang peta besar Indonesia dan meminta para Penggalang menempelkan catatan hasil diskusi mengelilingi peta itu. Setelah selesai menempel, para Penggalang dibariskan kemudia diminta maju satu-satu memandangi peta Indonesia sambil membaca dan merenungi catatan hasil diskusi. Para Guru dan Kak Ron juga melakukan hal yang sama.

Selanjutnya para Penggalang, Guru dan Kak Ron membuat lingkaran kecil, ditengah lingkaran berdiri bendera merah putih. Bergiliran, semua yang hadir diminta meletakkan ujung Bendera Merah Putih didada tepat di ulu hati dan mengucapkan apa saja pengalaman yang didapat “melihat Indonesia dari tokoh buah”. Untuk mengiringi Kak Ron sengaja memutar sayup-sayup lagu “Bagimu Negeri”.
Dengan wajah bangga Kak Ron, bercerita “Apa yang terjadi Kak, semua anak Penggalang terharu, ada yang menangis, bahkan saya ingat benar seorang Penggalang dengan pelan berucap ‘Tuhanku jika kami alpa, mensyukuri nikmatmu yag besar atas negeri ini, beri kesempatan kami untuk memperbaiki diri…,Lur biasa kan Kak”. Saya mengangguk dalam dan takzim.

Kak Ron melanjutkan ceritanya “Kakak pasti tidak menyangka, Bapak dan Ibu Guru yang saya jadikan narasumber juga ikut menangis. Guru Biologi yang masih muda dan cantik itu (wah Kak Ron, bisa saja, batin saya… hehe …), menangis tersedu sambil berkata ‘Kak Ron, ternyata ketika saya menjelaskan tentang okulasi/stek, pembibitan dan perawatan pohon buah, sejatinya saya juga sedang mengajarkan kecintaan pada tanah air ya’. Guru ekonomi yang gagah juga tersentuh nasionalismenya, sambil berkata lirih ‘menanamkan kecintaan pada produk dalam negeri, harus saya utamakan’. Guru PKN, yang selama ini selalu bersemangat menjelaskan Pancasila secara tekstual, ia mendapati konteks kekinian tentang begitu agungnya Pancasila dalam rasa.

Pribadi yang Luar Biasa

Biar saya yang bayar Kak, Kata Kak Ron diakhir pertemuan ketika saya akan membayar baksonya. Dengan bangga Kak Ron melanjutkan “biar sesekali Kakak merasakan nikmatnya uang honor membina pramuka yang masih dibawah UMR, tapi dijamin uang nasionalis, sedikit tapi barokah, hehe ….”

Sambil bercanda pula saya jawab, “terimakasih Kak Ron, maaf kalau hari ini saya telah “menjauhkan” Kakak dari sikap nasionalis. “Lo Kok Bisa”, Tanya Kak Ron kaget. Sambil memegang “garam instant” di meja tukang bakso Wonogiri saya berujar “tadi kita sudah makan bakso dengan garam ini, ini garam impor Kak, hehe …” Diluar dugaan Kak Ron, tidak marah malah bercanda “sebagai bagian dari bangsa yang sakit, kita harus ikut sakit juga Kak, hehe …. Masa negara yang 2/3 nya laut, kok garam saja impor..”

Perjumpaan dengan Kak Ron, memberi banyak hikmah bagi saya. Pertama, ditengah lahirnya deretan “generasi penikmat” yang begitu gaduh, pendidikan kepramukaan sangat potensial untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme apalagi ditangan figur seperti Kak Ron. Figur seperti Kak Ron saya yakin jumlahnya ribuan, mengabdi dalam sepi, dalam kesederhanaan, dalam keterbatasan (honor dibawah UMR), dan tersebar di seluruh pelosok negeri. Kedua pendidikan kepramukaan di sekolah juga sangat strategis jika dikelola dengan serius, kreatif dan kolaboratif. Bahkan pendidikan kepramukaan bisa membebaskan “anak-anak” dari sekat-sekat dinding sekolah yang kadang membelenggu.

Jadi, berbahagialah para orang tua, berbahagialan Indonesia karena putra-putrinya dididik oleh para Pembina yang luar biasa seperti Kak Ron. Di jiwa-jiwa Pembina Pramuka Yang Kreatif, Merdeka, Nasionalis dan Pandu sejati inilah masa depan Pramuka terletak bahkan juga masa depan Nasionalisme Indonesia. Ya, Nasionalisme Indonesia, tidak lain – tidak bukan.

Semoga Menginspirasi. Salam Pramuka.
Anis Ilahi Wh --- Redaktur ensiklopediapramuka.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Catatan Ensiklopedia Pramuka merupakan kolom opini redaksi yang mengulas topik-topik kontemporer pendidikan kepramukaan seperti : renewing scouting, pramuka dan media, pramuka sebagai ekskul wajib, kepemimpinan, inovasi media dan metode latihan, pendidikan perdamaian, pendidikan moral dan etika, dll.