Selamat Datang di CATATAN REDAKTUR ENSIKLOPEDIA PRAMUKA
go to my homepage
Go to homepage

Pages

Labels

Sabtu, 14 Juni 2014

Renewing scouting : Traditional Scouting vs Modern Scouting





Catatan ensiklopediapramuka.com: sisi lain renewing scouting (2)

“TRADITIONAL SCOUTING” VS “MODERN SCOUTING”
(dua hal yang berbeda ataukah dua hal yang saling melengkapi ?)

Oleh : Anis Ilahi Wh
(Redaktur Ensiklopediapramuka on line - Mantan Ketua DKD KWarda DIY 1987 - 1991)


Hakikat Gerakan

Tentu bukan sebuah kebetulan ketika para pendahulu menamai kepanduan di Indonesia dengan Gerakan Pramuka. Ada dua kata “Gerakan” dan “Pramuka”. Gerakan berasal dari kata dasar “gerak” yang bermakna peralihan tempat atau kedudukan atau keadaan, baik hanya sekali maupun berkali-kali yang didorong oleh suatu sebab baik berupa kehendak, keinginan, atau usaha-usaha (KBI Online). Sedangkan kata “gerakan” bermakna “peralihan tempat, kedudukan atau keadaan baik hanya sekali maupun berkali-kali yang dilakukan oleh kelompok sosial tertentu disertai program terencana dan ditujukan untuk mencapai perubahan, melestarikan atau mengembangkan pola kerja organisasi agar sesuai dengan tantangan zaman".

Sejarah Panjang pendidikan kepanduan sejak didirikan oleh Baden Powell, masuk ke Indonesia terus tumbuh dan berkembang menyesuaikan dengan perubahan zaman. Pada awalnya Gerakan Kepanduan masuk ke Indonesia dibawa oleh Kolonial Belanda untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan. Para Pejuang Kepanduan kemudian mendirikan kepanduan nasional sebagai alat perjuangan membangun nasionalisme dan memperjuangkan kemerdekaan. Setelah Kemerdekaan Gerakan Kepanduan berubah menjadi media pendidikan untuk mengisi kemerdekaan, dst hingga saat ini. Kesemua perubahan itu didesain dan dikelola secara sadar oleh para Pimpinan Gerakan Kepanduan sebagai bagian dari upay memberi makna dan peran pendidikan kepanduan sesuai dengan semangat dan tuntutan zaman.

Perubahan merupakan sebuah keniscayaan karena sebagai organisasi pendidikan, Gerakan Pramuka tidaklah berada di ruang kosong. Lingkungan sosial budaya senantiasa terus berubah dan menuntut adanya peran, tanggungjawab dan harapan-harapan baru. Dengan kata lain Gerakan Pramuka dituntut untuk terus bergerak, berubah dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik agar mampu memberikan pelayanan pendidikan bagi tunas-tunas bangsa menjadi generasi penerus bangsa yang beriman, beretika, berjiwa nasionalis dan mampu berperan di kehidupan nyata dengan penuh tanggungjawab dan profesional.


Traditional Scouting sebuah Ide

Tradisi secara literal dipahami sebagai akumulasi nilai-nilai yang diwariskan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Oleh sebab itu tradisi merupakan pilar penjaga kesinambungan dan keberlanjutan nilai-nilai dalam sebuah kelompok masyarakat dari satu waktu ke waktu lain. Tradisi sejatinya tidak sekedar nilai namun juga filsosofi, konsep pemikiran, kontsruksi hukum dam moral, lambang dan simbol hingga ritus simbolik yang telah melembaga atau menjadi kebiasaan dan diakui kebermaknaannya oleh para pendukungnya.

Mengacu pada pemahaman “tradisi” semacam di atas, maka traditional scouting bisa dimaknai sebagai filosofi, konsep dan moral pemikiran, konstruksi hukum dan nilai, lambang dan simbol hingga praktek-praktek pendidikan kepanduan yang diwariskan oleh pendirinya kepada generasi slanjutnya. Secara ringkas traditional scouting dapat dimaknai sebagai konsep pemikiran dan praktek-praktek pendidikan kepanduan yang telah dicontohkan oleh Baden Powell yang mencakup dua aspek yaitu aspek konsep pemikiran (ide dasar) serta aspek operasional atau praktek-praktek agenda pendidikan kepanduan.

Ide dasar pendidikan kepanduan sebagaimana dinyatakan oleh Baden Powell dalam bukunya “Scouting for Boys” adalah pendidikan anak dan remaja oleh orang dewasa untuk mengembangkan nilai-nilai nasionalisme, patriotisme dan cinta sesama. Pendidikan kepanduan berbentuk permainan gembira di alam terbuka, agar para peserta didik menerima pengalaman baru yang menarik, bersama-sama membina kesehatan, kebahagiaan, ketangkasan dan sifat suka menolong. Konsep pemikiran Baden Powell juga menyatakan bahwa tujuan latihan kepanduan adalah untuk memperbaiki mutu warga negara pada generasi yang akan datang, terutama karakter, kesehatan, serta sikap kesediaan menolong sesama hidup.

Sedangkan dalam praktek atau agenda pendidikan kepanduan Boden Powell mencontohkan berbagai kegiatan sepertii perkemahan, teknik hidup dialam bebas, penguasaan medium komunikasi tradisional seperti semaphore, morse, sandi, pendidikan kesehatan seperti senam, hiking dan berbagai latihan kebugaran fisik lainnya, ketrampilan praktis, hingga kepemimpinan dan cara-cara hidup berkelompok (beregu).


Renewsing Scouting sebuah Keniscayaan

Dalam sejarah kepanduan di Indonesia pernah lahir sebuah ide formal berdimensi politis yaitu adanya upaya membersihkan sisa-sisa paham Baden Powell sebagaimana mana tercantum dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Di dalam Lampiran C ayat 8 ketetapan ini dinyatakan bahwa gerakan kepanduan di Indonesia supaya dibebaskan dari sisa-sisa Baden Powellisme.

Ada dua faktor yang mempengarui lahirnya kebijakan di atas. Pertama, faktor politis yaitu tumbuh kembangnya arus utama politik di Indonesia pada saat itu yang anti terhadap apa saja yang berasal dari dunia barat karena dikonotasikan sebagai produk imperialism, kolonialisme dan kapitalisme. Kedua adalah faktor rendahnya minat gerenarsi muda Indonesia terhadap pendidikan kepanduan oleh karena kurang menariknya agenda latihan dan kuran g relevannya kepanduan dengan kebutuhan zaman.

Terhadap keadaan di atas Sri Sultan Hamengkubowono IX memberikan respon dengan mengemukakan gagasan tentang renewing scouting, yaitu usaha memperbaharui praktek pendidikan kepramukaan. Gagasan ini dikemukakan pada World Scout Conference ke-23 di Tokyo tahun 1970 dengan pokok-pokok pikiran sebagamainan tersurat dalam petikan sambutan Beliau yaitu :

“… ikut sertanya pramuka-pramuka dalam kegiatan pembangunan bangsa adalah syarat mutlak demi kelanjutan hidup kepramukaan sebagai organisasi dunia. Kita tetap dapat taat pada prinsip-prinsip moral kepramukaan, tetepi kita harus memperbaharui acara-acara kegiatan kepramukaan yang sesuai dengan aspirasi generasi muda kita dan dengan kebutuhan masyarakat kita …”

Dilevel Global pembaharuan dan pengembangan pendidikan kepanduan yang diinisasi oleh WOSM juga melahirkan apa yang disebut “Youth Programme”. Kepanduan yang pada awal didirikan (1907) mengarah pada pembentukan watak agar menjadi pribadi yang bertaqwa, menolong sesama hidup dan setia membela Negara berkembang menjadi upaya pembentukan watak semacam di atas dengan ditambah penguasaan kecapakan dan ketrampila berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Youth programme memiliki 3 ciri yaitu modern, bermanfaat dan teguh pada kode kehormatan dan prinsip dasar metode pendidikan kepramukaan.


Dua Hal yang Saling Melengkapi

Pergulatan pemikiran dan kebijakan antara perspektif tradisionalisme dan perspektif modernisme dalam pendidikan kepanduan tampaknya tidak bisa diletakkan dalam keadaan yang saling meniadakan namun justru saling melengkapi. Pernyataan Sri Sultan HB IX dan juga konstruksi "Youth Programme" oleh WOSM menegaskan bahwa tujuan pembaharuan pendidikan kepanduan fokus pada memperbaharui acara-acara kegiatan kepramukaan agar sesuai dengan aspirasi generasi muda dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan tetap teguh berpegang pada kode kehormatan dan prinsip dasar metode pendidikan kepramukaan.

Dalam perspektif yang lebih mendalam memang gerak modernisasi pendidikan kepramukaan hendaknya dilakukan atas kesadaran pada nilai-nilai tradisi, yaitu dengan menjadikan tradisi sebagai saringan simbolik atau titik pijak dalam menilai, menyeleksi dan memberlakukan sesuatu yang baru. Bahkan lebih dari itu, tradisi juga harus ditempatkan sebagai sumber inspirasi dan acuan konsepsi pemikiran dalam berhadapan dengan tantangan-tantangan modernisasi. Tradisi juga harus mampu memandu semua gerak modernisasi dengan mempertemukan antara tradisi besar (high tradition) berupa “prinisip-prisip moral kepramukaan” yang universal dengan aspirasi-aspirasi baru anak dan remaja Indonesia terkini.

Sifat pertemuann antara traditional scouting dan modern scouting yang saling melengkapi akan mampu melahirkan gerakan pendidikan yang progresif dan kontekstual. Kontekstualisasi akan melahirkan relevansi. Relevansi merupakan ruh organisasi pendidikan karena relevansi menuntut adanya persenyawaan antara aspek pembaharuan metode, pengembangan kompetensi pembina, dan penyediaan sarana dan prsarana latihan yang sesuai kebutuhan peserta didik terkini.

Progresifitas, kontekstualitas dan relevansi sebagai inti modernisasi pendidikan kepramukaan yang berpijak pada nilai-nilai tradisional kepanduan akan dapat menjadi “muara etis” pengabdian pendidikan kepramukaan terhadap anak dan remaja Indonesa. Hal itu karena keabsahan pendidikan kepramukaan tidak diukur semata-mata oleh kamajuan organisasi atau sub sistem supporting lainnya (unit usaha, puslibang, dukungan pemerintah, dll) tetapi justru diukur seberapa jauh mampu membangun perubahan perilaku peserta didik sesuai standard dan norma kehidupan modern di satuan terdepan yaitu gugusdepan.

Pada akhirnya pengalaman juga menunjukan bahwa modernisme yang mampu berdampingan dengan tradisionalisme akan melahirkan peradaban besar dan kuat seperti halnya bangsa Jepang, Korea Selatan dan Cina Daratan. Demikian pula halnya Pendidikan Kepanduan akan besar dan jauh lebih bermakna jika mampu merajut benang merah antara traditional scouting dan modern scotung.


Contoh dalam Praktek

Sekedar melengkapi catatan ini, praktek-praktek “traditional scouting skills” atau ketrampilan kepramukaan tradisional semacam semaphore, morse, sandi, nyanyi, tepuk tangan dll, pada dasarnya juga dapat ditransformasikan menjadi “modern scouting skills” dengan mengembangkan fungsi, peran dan tujuannya. Melatih semaphore hanya sebagai medium komunikasi ditengah modernisasi alat-alat komunikasi akan membosankan dan kehilangan relevansi dengan kehidupan anak dan remaja masa kini. Namun melatih semaphore sebagai medium komunikasi kemudian ditambahkan sebagai medium kreatif yang melahirkan koreografi atau tarian masal semaphore, ditambahkan lagi sebagai mediun melatih kecermatan, kebersamaan dan kegembiraan tentu akan lebih menarik dan relevan dengan semangat zaman dan kehidupan anak-anak masa kini.

Fakta lain juga menunjukan kreativitas Pembina yang mampu melakukan transformasi traditional scouting menjadi modern scouting terutama dalam hal kegiatan pioneering. Jika dahulu pionering adalah dasar-dasar tali temali untuk membuat bangunan jembatan, menara pandang, pagar tenda, dll kini telah ditransformasikan menjadi dasar-dasar tali temali untuk membikin mobil, robot, dan berbagai bangunan modern artisifial lainnya. Tentu masih banyak contoh-contoh lainnya.


Penutup

Sejak era 1964 atau era Gerakan Pramuka perubahan demi perubahan untuk mewujdukan renewing scouting terus dilakukan. Ide Sri Sultan XB IX tentang “Scout Action For Community Developmnet” dilanjutkan oleh Kak Azis Saleh dan Kak Mashudi berupa “Partisipasi Gerakan Pramuka dalam Pembangunan”, dilanjutkan lagi oleh Kak Himawan dan Kak Rivai berupa “Pendidikan Kepramukaan untuk Pemberdayaan Remaja dan Pemuda”, kemudian dilanjutkan lagi oleh Kak Azrul berupa “Revitalisasi Gerakan Pramuka”. Semua ide itu telah dikembangkan menjadi kebijakan yang memiliki kelebihan kekurangan.

Kedepan kearah manakah Kak Adhyaksa Dault akan membawa biduk Gerakan Pramuka berlayar dan berlabuh. Akankah renewing scouting akan berlanjut ataukah akan ditawarkan strategi – strategi baru ? Ada baiknya kita mulai menebak meski dengan data yang terbatas. Tks.


 Semoga Menginspirasi. Salam Pramuka
Anis Ilahi Wh – Redaktur Ensiklopediapramuka.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Catatan Ensiklopedia Pramuka merupakan kolom opini redaksi yang mengulas topik-topik kontemporer pendidikan kepramukaan seperti : renewing scouting, pramuka dan media, pramuka sebagai ekskul wajib, kepemimpinan, inovasi media dan metode latihan, pendidikan perdamaian, pendidikan moral dan etika, dll.